KAPASITAS SOFT SKILL PROFESI PEMANDU WISATA
KAPASITAS SOFT SKILL PROFESI PEMANDU WISATA
M. Husen Hutagalung
(Dosen Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti, Jakarta)
Tour Guide are one of the key front-line
players in the tourism industri (Ting; Shiann & Ding, 2012, 1), melihat keberadaan seorang Pemandu Wisata
demikian sentralnya, maka profesi tersebut sering menjadi perhatian, bahkan
menjadi sebuah fenomena menarik untuk diteliti lebih dalam. Dunia Pariwisata salahsatunya tidak bisa
dilepaskan dari peran profesi ini, mengingat keberadaan Pemandu Wisata atau
sering juga disebut sebagai Pramuwisata. Dengan semakin terbukanya era global,
berdampak maraknya pada era perdagangan bebas regional, MEA (Masyarakat Ekonomi
Asean) salahsatunya menuntut kompetensi global pada profesi ini di sektor
pariwisata. Tulisan ini akan mengangkat perihal eksistensi profesi Pemandu
Wisata, dalam menghadapi era perdagangan bebas atau global. Salahsatunya bahwa
profesi Pemandu Wisata harus dibekali dengan kecerdasan emosiaonal, selain
kecerdasan-kecerdasan lain yang memberi warna profesionalitas pada bidang
kerjanya. Tulisan ini akan menggunakan pendekatan kulitatif diskriptif, dengan
berbagai sumber primer, sekunder dan hasil-hasil penelitian khususnya
jurnal-jurnal international yang terkait.
Kata Kunci: Tour Guide, Perdagangan Bebas, Kompensi
pariwisata dan Kecerdasan Emosional.
I.
PENDAHULUAN
Semakin meningkatnya teknologi informasi dan ketatnya
persaingan global dewasa ini, menjadikan Keunggulan Bersaing atau Competitive advantage
menjadi prioritas utama dalam upaya peningkatan kapasitas Sumberdaya Manusia. Maka itu keunggulan Sumberdaya Manusia
menjadi cita-cita pihak pemangku kepentingan dimana saja, baik itu di institusi
pendidikan, birokrasi pemerintahan, bahkan korporasi swasta maupun organisasi
kemasyarakatan. Pada kenyataanya kondisi sumberdaya manusia Indonesia belum
berada pada tingkat yang diharapkan, hal ini masih terindikasi dan terlihat
jelas adanya sentimen negatif dan alergisitas, pada fenomena persaingan
regional seperti diberlakukannya MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) salah satu
contohnya. Bukan tanpa alasan, karena statement tersebut banyak didasari oleh
hasil-hasil penelitian dan kajian para pakar, salah satunya yang dimuat dalam World Competitveness Yearbook yang
mengatakan bahwa, tingkat daya saing sumberdaya manusia di Indonesia di
lingkungan regional ASEAN berada paling bawah (Alhadi, 2010). Padahal
implementasi MEA harusnya menjadi ajang bagi negara-negara ASEAN khususnya
Indonesia, dengan memanfaatkan keunggulan-keunggulan sumberdaya regional dalam
persaingan kompetensi tenaga profesional, dengan tidak terlepas dari resiko dan
dampak sosial perdagangan bebas tersebut.
Secara formatif pada dasarnya sumberdaya manusia
Indonesia memiliki eksistensi yang kuat pada kompetensi pekerjaanya, hal ini
terbukti tidak sedikit pengakuan pada profesionalitas pekerjaan untuk tenaga
kerja kita di luar negeri, yang mana terdapat sisi-sisi kekuatan dan keunggulan
yang mungkin tidak didapat pada pekerja-pekerja asal negara lain khususnya yang
berasal dari kawasan Asia Tenggara. Standard formatif tidaklah cukup untuk
mengukur keberadaan daya saing tenaga kerja kita menghadapi persaingan pasar bebas seperti itu, karena
dalam pasar bebas global maupun regional dibutuhkan standar-standar subtantif
yang menjadikan keunggulan-keunggulan daya saing yang berkelanjutan dan
berkarakter.
Ketermarginalan
Indonesia terindikasi salahsatunya dalam bidang pendidikan, terbukti dari beberapa hasil survey
menunjukan betapa terpuruknya sektor pendidikan di negeri ini, salahsatunya
yang dikeluarkan oleh PERC (Political and
Economic Risk Consultancy) yang mengatakan bahwa Sistem pendidikan di
Indonesia menempati posisi terburuk di Asia. Pernyataan tersebut juga diperkuat
oleh hasil survey UNDP (United Nation
Development Program) yang menyebutkan bahwa Indek Pembangunan Manusia di
Indonesia sempat berada pada posisi terendah dengan peringkat 110 dari 177 negara, artinya menempati
posisi dibawah negara-negara miskin seperti Kirgistan, Equatorial Guinea dan
Algeria.
Dari
identifikasi tersebut dengan mudah dapat di kaitkan keberadaan sistim
pendidikan kita, baik formal maupun informal yang lebih menitik beratkan
pada penguatan kemampuan Hard Skill
daripada Soft Skill. Seperti di ungkapkan (Ilah Sailah, 2007),
yang mengatakan bahwa pendidikan di Indonesia muatan Soft Skill-nya hanya
10%, sedangkan Hard Skill-nya 90%. Padahal berdasarkan data
hasil penelitian Harvard University
Amerika Serikat, bahwa kesuksesan hanya ditentukan 20% oleh Hard Skill dan sisanya 80% oleh Soft Skill, bahkan dari hasil penelitian
psikologi sosial menunjukan bahwa orang yang sukses ditentukan oleh peranan
ilmu hanya sebesar 18%, sedangkan sisanya
82% dijelaskan oleh kecerdasan
emosional atau soft skill. Dari
kondisi tersebut jelas bahwa selain Hard
skill, kemampuan Soft Skill
menjadi sangat sentral dan mendesak keberadaannya, bagi upaya peningkatan Competitive Advantage sumberdaya manusia
kedepan dalam percaturan global dan regional. keberadaan dan kebutuhan akan kapasitas kompetensi soft skill, yang oleh banyak ahli biasa
juga disebut sebagai Emotional Quotient
(EQ) menjadi sangat prioritas, mengingat era perdagangan bebas regional Masyarakat Ekonomi Asean sudah
diberlakukan. Perbincangan tentang Kecerdasan Emotional sudah sering bahkan
banyak diperdebatkan, khususnya para pemerhati pendidikan dan Sumberdaya
Manusia. Mengingat persoalan tersebut diatas harus terpenuhinya sebagai standar kompetensi Sumberdaya
Manusia Indonesia, yang dapat secara produktif mengikuti alur dan dinamika
kebutuhan Sumberdaya Manusia berkualitas secara global.
Bangsa ini sedang giat-giatnya dalam pembangunan
sektor pariwisatanya, walaupun tingkat kunjungan wisatawan asing ke Indonesia
belum bisa dibanggakan, seperti halnya negara tetangga di Asean, yaitu Malaysia
dan Thailand. Terlihat untuk jumlah kunjungan wisatawan kita masih dibawah
Malaysia dan Thailand, walaupun secara kasat mata potensi pariwisata Indonesia
jauh lebih unggul dibanding kedua negara Asean tersebut. Banyak faktor yang
menyebabkan pariwisata Indonesia belum secara maksimal, khususnya dalam
mendatangkan wisatawan asing sebanyak-banyaknya. Salahsatu komponen dan
penunjang dalam kegiatan pariwisata adalah keberadaan Pemandu Wisata atau Tour
Guide, yang mana peran pemandu wisata dalam sebuah perjalanan wisata menjadi
sebuah kebutuhan yang paling utama. Pemandu wisata memiliki berbagai peran
dalam sebuah perjalanan wisata, dari mulai sebagai teman perjalanan, sumber
pengetahuan, perantara relasi dengan kondisi setempat, sampai dengan pengatur
pelayanan prima, maka itu layak jika seorang pemandu wisata sering diidentikan
sebagai ensiklopedi berjalan dan sumber hospitalitas. Walaupun tidak jarang
peran seorang pemandu wisata dirasa tidak maksimal keberadaannya, hal ini bukan
karena ketidak kompeten pelaku tersebut. Kesenjangan-kesenjangan atau
ketidakpuasan wisatawan terhadap pemandu wisatanya, bisa diakibatkan pada
kurangnya pemahaman soft skill dalam
pelayanan hospitaliti yang diberikan. dari paparan tersebut penulis ingin
menjawab permasalahan ini, yaitu mengaitkan kapasitas seorang pemandu wisata
denga kecerdasan emosional, agar nantinya dapat dijadikan sebuah referensi
pengembangan sumberdaya manusia pemandu wisata yang memiliki kapabilitas dan
kapasitas unggul
II.
KAJIAN LITERATUR
A.
PARIWISATA DAN PEMANDU WISATA
Pada hakekatnya kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang diakibatkan oleh perjalanan manusia secara
perorangan maupun kelompok dengan berbagai maksud, kecuali untuk menetap dan
mencari nafkah (IUOTO 1968). Sebagai suatu sistem, kepariwisataan meliputi
kegiatan-kegiatan yang terjadi sebelum perjalanan dilakukan dan selama
perjalanan itu berlangsung, atau kegiatan-kegiatan yang mempunyai keterkaitan ke hulu
dan juga keterkaitan ke hilir
beserta penggunaan sarana dan prasarana yang diperlukan (Pitana,
2006:7).
Istilah
pariwisata berasal dari bahasa sansekerta, yang mempunyai dua suku kata yaitu
Pari yang berarti seluruh, semua atau penuh, dan Wisata yang berarti perjalanan
atau berpergian (Pambudi, 1998:8), sehingga demikian secara tata
bahasa, Pariwisata dapat diartikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan
perjalanan untuk rekreasi, pelancongan dan tourism. Di Indonesia istilah
Pariwisata, konon untuk pertamakali digunakan oleh mendiang mantan Presiden
Soekarno, dalam suatu percakapannya sebagai padanan dari istilah Tourisme (Soekadijo, 1997:1). Terdapat banyak definisi tentang pariwisata, antara lain
dikatakan bahwa pariwisata adalah, keseluruhan dari gejala-gejala yang
ditimbulkan oleh perjalanan, dan pendiaman orang-orang asing, serta penyediaan
tempat tinggal sementara, asalkan pendiaman itu tidak tinggal menetap dan tidak
memperoleh penghasilan dari aktifitas yang bersifat sementara (Yoeti, 1983:106). Pariwisata dapat juga diterjemahkan sebagai kegiatan
seseorang yang mengadakan perjalanan
untuk kesenangan melancong, karena rasa ingin tahu, dan karena tak punya
pekerjaan lain yang lebih baik dikerjakan (Lunberg,
1997:13).
Pada Undang – Undang Republik Indonesia tentang
Kepariwisataan bab IV (pasal 9 : 1) butir © bahwa pramuwisata termasuk dalam jenis-jenis usaha jasa
pariwisata. Hal ini menunjukan bahwa jasa pramuwisata dibutuhkan dalam kegiatan
pariwisata. Peranan pramuwisata dalam pariwisata adalah sebagai ujung tombak
yang dapat menentukan keberhasilan sebuah pelayanan perjalanan wisata. Pengertian
pramuwisata menurut Oka. A. Yoeti, pramuwisata secara umum adalah seseorang
yang dibayar untuk menemani wisatawan dalam perjalanan mengunjungi, melihat
serta menyaksikan objek dan atraksi wisata Sedangkan dari sudut pandang
wisatawan pramuwisata adalah seseorang yang bekerja pada suatu biro perjalanan
atau suatu kantor pariwisata (Tourism Office) yang bertugas memberikan
informasi, petunjuk dan advis secara langsungkepada wisatawan sebelum dan
selama perjalanan berlangsung (2000 : 10).
Pengertian pramuwisata menurut Keputusan Menteri
Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi NO : KM.82/PW.102/MPPT-88 tanggal 17
September 1988, yang dimaksud dengan pramuwisata adalah seseorang yang bertugas
memberikan bimbingan, penerangan dan petunjuk tentang objek wisata serta
membantu segala sesuatu yang diperlukan wisatawan. Dari
beberapa pengertian diatas menunjukan bahwa pramuwisata memiliki tugas yang
cukup berat dalam rangka memberikan pelayanan dan informasi kepada wisatawan.
Pramuwisata dituntut memiliki wawasan yang luas dan memiliki ketrampilan kerja
yang menunjang tugas-tugasnya.
Pemandu
wisata disebut juga pramuwisata atau tour guide. “Pemandu wisata adalah
seseorang yang memberi penjelasan serta petunjuk kepada wisatawan dan treveller
lainnya tentang segala sesuatu yang hendak dilihat dan disaksikan bilamana
mereka berkunjung pada suatu objek, tempat atau daerah wisata tertentu” (Gamal
Suwantoro, 1997: 13). Menurut Tata Nuriata (1995: 1) “pramuwisata berasal dari bahasa
Sansekerta yaitu pramu, wis, dan ata. Pramu berarti pelayan atau orang yang
melayani, wis berarti tempat dan atau berarti banyak”. Pendapat umum
mengartikan wisata sebagai keliling atau perjalanan sehingga dalam hal ini
pramuwisata dapat dikatakan sebagai petugas yang melayani orang yang sedang
melakukan perjalanan wisata.
Menurut
Amato seorang ahli dari UNDP/ILO menyatakan bahwa: ”tour guide is a person
employed either by the travelers, a travel agency or any others tourist
organization, to inform,direct and advice the tourist organization, to inform,
direct and advice the tourists before and during their short visits”. “Pramuwisata
adalah seorang yang bekerja untuk wisatawan, biro perjalanan, ataupun lembaga
kepariwisataan lain untuk memberikan informasi, memimpin perjalanan atau
memberi saran-saran kepada wisatawan sebelum atau selama kunjungan-kunjungan
singkatnya”. Dari
pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pemandu wisata yaitu orang yang
memberikan bimbingan, informasi, dan petunjuk tentang perjalanan wisata.
Pemandu wisata memberikan layanan jasa yang dapat membantu wisatawan menikmati
liburannya di daerah tujuan wisata. Pemandu wisata merupakan salah satu
pemegang kunci suksesnya perjalanan wisata. Oleh karena itu, pemandu wisata
memiliki peranan yang sangat penting dalam perjalanan wisata. Baik buruknya
kesan yang diterima wisatawan lebih banyak ditentukan oleh peran seorang
pemandu wisata, mengenai bagaimana seorang pemandu menyampaikan informasi yang
dibutuhkan wisatawan dari cara bicara, sikap, pengetahuan mengenai wisata yang
sedang dikunjungi dan lain-lain.
Menurut
Desky berdasarkan posisi pemandu wisata (guide) dalam perjalanan biro
wisata maka dikenal tiga jenis guide yaitu guide freelance, guide
semi staff, dan guide staff. Selanjutnya akan dijelaskan sebagai
berikut: (1). Guide
Freelance, Adalah seorang guide lepas yang
sama sekali tidak mempunyai ikatan dengan manajemen biro perjalanan wisata.
Mereka bekerja untuk sebuah biro perjalanan wisata selama tenaganya dibutuhkan
oleh biro perjalanan itu. Imbalan atau pendapatan yang diperoleh berdasarkan jam
kerja mereka, (2) Guide
Semi Staff, Adalah seorang guide yang
bekerja hanya pada satu biro perjalanan saja. Oleh karenanya biro perjalanan
tersebut berkewajiban memberikan prioritas kepadanya untuk memandu wisatawan
yang ada dalam biro perjalanan tersebut. Mereka tidak memperoleh gaji bulanan,
tetapi tetap gaji imbalan sesuai dengan jam kerjanya, (3). Guide Staff Adalah
guide yang memiliki status sebagai pegawai resmi sebuah biro perjalanan
wisata. Mereka memperoleh gaji bulanan sebagaimana karyawan yang lain. Selama
tidak ada tugas pemanduan, mereka harus ikut membantu pekerjaan lain yang ada
dalam biro perjalanan tersebut (Desky, 2001: 29-30).
Menurut
Gamal Suwantoro berdasarkan bidang keahliannya pemandu wisata atau Pramuwisata
dibagi menjadi empat yaitupramuwisata umum, pramuwisata khusus, Pramuwisata
darma wisata,dan pramuwisata pengemudi. Selanjutnya akan dijelaskan sebagai berikut: (1). Pramuwisata
Umum (General Guide) adalah pramuwisata yang mempunyai pengetahuan
mengenai kebudayaan, kekayaan alam, dan aspirasi kehidupan bangsa/penduduk secara
umum, (2). Pramuwisata
Khusus (Special Guide) adalah pramuwisata yang mempunyai pengetahuan
yang khusus dan mendalam mengenai objek wisata seperti kebudayaan, arkeologi,
sejarah, teknik, perdagangan, keagamaan, ilmiah, margasatwa, perburuan dan
lain-lain, (3). Pembimbing
Darma Wisata (Tour Conductor) adalah pramuwisata senior yang mempunyai
tanda pramuwisata untuk memimpin perjalanan suatu kelompok wisatawan yang
melakukan perjalanan di suatu wilayah atau suatu Negara, (4). Pramuwisata Pengemudi
(Guide Driver) adalah pramuwisata yang mempunyai kartu tanda pramuwisata
untuk memberikan bimbingan dan penerangan umum mengenai objek wisata,
kebudayaan, kekayaan alam dan aspirasi kehidupan bangsa kepada para wisatawan,
disamping kedudukannya sebagai pengemudi kendaraan umum, seperti taxi, bus dan
lain-lain (Gamal Suwantoro, 1997: 13-14).
Menurut
Muhajir berdasarkan tempat melaksanakan tugasnya, dibedakan menjadi Local
Guide dan City Guide, selanjutnya akan dijelaskan sebagai berikut: (1). Lokal Guide atau
pemandu wisata lokal yaitu seorang pemandu wisata yang menangani suatu tour selama
satu atau beberapa jam di suatu tempat yang khusus, pada suatu atraksi wisata
atau di suatu areal yang terbatas, misalnya gedung bersejarah, museum, taman
hiburan dan lain-lain,
(2). City Guide adalah
pemandu wisata yang bertugas membawa wisatawan dan memberikan informasi wisata
tentang objek-objek wisata utama di suatu kota, biasanya dilakukan di dalam bus
atau kendaraan lainnya (Muhajir,2005: 13).
Adapun
Pemandu wisata merupakan pemimpin dalam suatu perjalanan wisata,
secara umum tugas seorang pemandu wisata adalah sebagai berikut: (1). To conduct/to
direct, yaitu mengatur dan melaksanakan kegiatan perjalanan wisata bagi
wisatawan yang ditanganinya berdasarkan program perjalanan yang telah
ditetapkan, (2). To
point out, yaitu menunjukkan dan mengantarkan
wisatawan ke objek-objek dan daya tarik wisata yang dikehendaki, (3). To
inform, yaitu memberikan informasi dan
penjelasan mengenai objek dan daya tarik wisata yang dikunjungi, informasi
sejarah dan budaya, dan berbagai informasi lainnya.
Selain itu seorang
Pramuwisata memiliki tugas yang harus diemban dengan penuh tanggung jawab dan
keihklasan. Tugas dan tanggung jawa pramuwisata menurut Menteri Pariwisata, Pos
dan Telekomunikasi NO : KM.82/PW.102/MPPT-88 tanggal 17 September 1988 adalah
sebagai berikut : (1). Mengantar wisatawan, baik rombongan maupun perorangan
yang mengadakan perjalanan dengan transportasi yang tersedia. Tugas
pramuwisata dalam hal ini adalah mengantar wiastwan. Seorang pramuwisata harus
menguasai daerah yang sedang dikunjungi baik dalam perjalanan maupun selama di
tempat tujuan. Pramuwisata harus mampu memberikan penjelasan hal – hal yang
ditemui selama perjalanan berlangsung serta memberikan informasi yang akurat
mengenai objek yang dikunjungi, (2). Memberikan penjelasan tentang rencana
perjalanan danobjek wisata serta memberikan penjelasan mengenai dokumen
perjalanan, akomodasi, transportasi dan fasilitas wisata lainnya. Dalam hal ini
pramuwisata harus menjelaskan tentang jadwal perjalanan, tujuan perjalanan,
jumlah objek wisata yang akan dikunjungi, memberikan informasi umum mengenai
objek yang akan dikunjungi, memberikan informasi tentang dokumen perjalanan
yang harus dibawa, informasi akomodasi, memberikan informasi transportasi yang
digunakan selama perjalanan dan beberapa informasi mengenai fasilitas yang
diberikan sesuai kebutuhan wisatawan, (3). Memberikan petunjuk tentang objek
wisata. Seorang pramuwisata harus memberikan informasi tentang objek wisata yang
akan dikunjungi berupa informasi tentang bentuk objek wisata, hal – hal yang
boleh dan dilarang untuk dilakukan, sehingga wisatawan nyaman dan tidak terjadi
pelanggaran terhadap aturan yang telan diinformasikan sebelumnya, (4). Membantu
pengurusan barang bawaan wisatawan. Dalam tugasnya
pramuwisata tidak hanya memberikan
informasi tetapi juga memberikan semua pelayanan yang dibutuhkan oleh wisatawan
seperti menguruskan barang bawaan, dalam hal ini apabila wisatawan mengalami kesulitan
dengan barang bawaannya, (5). Memberikan pertolongan kepada wisatawan yang
sakit, mendapat kecelakaan, kehilangan atau musibah lainnya. Dalam
hal ini seorang pramuwisata harus mempersiapkan diri untuk menghadapi situasi
yang tidak terduga seperti memberikan pertolongan pertama kepada wisatawan yang
dalam perjalanan mengalami sakit. Seorang pramuwisata harus cekatan dan mampu
bertindak secara cepat apabila terjadi kecelakaan atau musibah di dalam
perjalanan.
B.
KECERDASAN EMOSIONAL
Sebelum marak dibicarakan tentang Kecerdasan Emosional
atau Emotional Quotient,
mula-mula diperkenalkan Intellegence Quotien atau biasa disingkat IQ oleh Alfred Binet, ahli psikologi dari Perancis
pada awal abad ke-20. Kemudian, Lewis Terman dari
Universitas Stanford berusaha membakukan tes IQ yang dikembangkan oleh
Binet dengan mempertimbangkan norma-norma
populasi sehingga selanjutnya dikenal sebagai
tes Stanford-Binet
(Iskandar, 2011). Sekian lama IQ telah
menjadi ukuran atau standar kecerdasan
seseorang, namun belakangan ini
dimana kehidupan serba kompleks, ukuran standar IQ
dipertanyakan bahkan menjadi pembahasan panjang para akademisi dan praktisi,
yang mendalami permasalahan-permasalahan sumberdaya manusia, khususnya bila
dikaitkan dengan tingkat kinerja dan kualitas kerja sumberdaya manusia.
Era
awal tahun 1980-an seorang peneliti psikologi Amerika kelahiran Israel bernama
Dr. Reuven Bar-On, mengungkapkan sebuah hipotesis yang paling terkenal yaitu:
yaitu mengapa ada orang yang dianugerahi kemampuan intelektual yang lebih
tinggi dari orang kebanyakan tetapi menemui kegagalan hidup, sementara orang
lain dengan bakat biasa-biasa saja ternyata lebih berhasil? (Stein & Book,
2000). Dari hipotesis tersebut menyemangati perkembangan lahirnya pemahaman
baru tentang kecerdasan manusia, diawali oleh John Mayer dari Universitas
Hampshire dan Peter
Salovey dari Universitas Yale pertama-kali
memunculkan istilah kecerdasan emosional
pada tahun 1990, mereka menggambarkan kecerdasan emosional sebagai kemampuan untuk
mengenali
arti emosi dan hubungannya serta
menggunakan
untuk memecahkan permasalahan. Kemampuan ini meliputi kapasitas untuk memahami emosi, perasaan-perasaan yang
terkait dengan emosi
dan
memahami
informasi tentang emosi-emosi tersebut dan mengelolanya. (Nikolaou, 2002:327). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Goleman (1995 dan 1998) dan Boyatzis (1999) dasar dari kemampuan
emosional adalah kesadaran
diri (self awareness) yaitu pengetahuan
akan kemampuan dan keterbatasan diri sendiri
sekaligus juga pemahaman yang mendalam akan faktor-faktor dan situasi yang dapat
menyebabkan munculnya emosi dalam diri sendiri.
Dengan adanya kesadaran ini, seorang individu dapat mengatur emosi dan perilakunya serta dapat memahami orang
lain dengan lebih
baik. Selain kesadaran diri, terdapat tiga komponen lain
yang membangun kecerdasan emosional seseorang yaitu pengelolaan diri (self management),
kepekaan sosial (social awareness) dan ketrampilan sosial (social
skills). Setiap individu
mempunyai kemampuan yang berbeda-beda
dalam ke empat komponen tersebut.
Kekurangan-kekurangan
dalam ketrampilan emosional dapat diperbaiki sampai ke tingkat yang setinggi-tingginya,
di mana masing-masing
komponen menampilkan bentuk kebiasaan dan respon yang dengan usaha tepat
dapat dikembangkan.
Hasil penelitian Thomas J. Stanley, Ph.D., yang dibukukan dengan judul The Millionaire Mind membuktikan bahwa kecerdasan emosi, sosial dan spiritual memberikan kontribusi terhadap keberhasilan sebesar 90% dan intelektual hanya
10%
(Darta, 2008). Selain
itu Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence: Why
It Can Matter More Than IQ menyatakan keberhasilan
seseorang lebih banyak
ditentukan oleh kecerdasan emosinya dan sisanya ditentukan oleh kecerdasan intelektual dan istilah lama yaitu
kecerdasan
sosial digunakan kembali
oleh Goleman (2006).
Misalnya dalam perusahaan jasa, kecerdasan emosional dapat
muncul dalam
bentuk kemampuan untuk
memahami
kebutuhan dan keinginan
pelanggan, mengenali dan mengendalikan
emosi diri, kemampuan berempati, meyakinkan
orang lain dan kemampuan dalam berkomunikasi.
Goleman (1995) mempopulerkan pendapat para pakar teori kecerdasan bahwa ada aspek lain dalam diri manusia yang berinteraksi secara aktif dengan
aspek kecerdasan IQ dalam menentukan efektivitas penggunaan kecerdasan yang konvensional tersebut. Aspek lain ini kemudian dikenal dengan istilah kecerdasan
emosional yang dikaitkan dengan kemampuan
untuk mengelola perasaan yaitu
kemampuan untuk mempersepsi
situasi, bertindak sesuai dengan persepsi tersebut,
kemampuan untuk
berempati dan lain-lain. Ketidakmampuan
dalam mengelola aspek rasa dengan baik akan menyebabkan ketidakmampuan
dalam menggunakan aspek
kecerdasan konvensional (IQ) secara
efektif.
Studi yang dilakukan Goleman (1995) menyatakan kecerdasan emosional
adalah kemampuan untuk mengenal perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain agar
dapat memotivasi
diri dan mengelola emosi yang terdapat dalam diri sendiri dan
orang lain secara efektif. Kecerdasan
emosional dapat diamati ketika seseorang
memperlihatkan
kemampuan yang terdiri dari kesadaran diri, pengelolaan diri, kepekaan sosial dan pengelolaan hubungan pada waktu yang tepat dengan frekuensi
yang cukup untuk dapat efektif
pada situasi tertentu.(Boyatzis, 1999;
Goleman, 1995 dan 1998). Sedangkan
menurut Salovey dan Mayer (!990) emotional
intelligence menunjukkan pemahaman akan perasaan diri sendiri,
empati
terhadap perasaan
orang lain dan penataan emosi sedemikan rupa
sehingga bermanfaat untuk meningkatkan kualitas kehidupan kita. Setelah penelitian yang dilakukan
Salovey dan Mayer (1990) muncullah
peneliti lain yang mencoba untuk mengembangkan teori
tersebut di antaranya Martinez (1997) yang mendefinisikan emotional intelligence adalah suatu kesatuan dari ketrampilan, kapabilitas dan kompetensi
yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk mengatasi tuntutan
dan tekanan lingkungan. Salovey dan Pizarro dalam Lee
dan Olszewski Kubilius (2006) menyatakan EI sebagai kemampuan untuk mempersepsikan
dan mengekspresikan emosi secara akurat dan adaptif,
kemampuan untuk
memahami
emosi dan pengetahuan
emosional,
kemampuan menggunakan berbagai perasaan untuk memfasilitasi pikiran dan kemampuan untuk
mengemdalikan berbagai emosi di dalam diri sendiri dan orang lain. Untuk
mengetahui
tingkat kecerdasan emosional
maka dilakukan pengukuran
terhadap kompetensi emosional yang dimiliki seseorang. Kompetensi
emosional adalah
kemampuan yang
dapat dipelajari berdasarkan
kecerdasan emosional yang akan memberikan kontribusi terhadap keefektifan kinerja
seseorang (Goleman, 1998).
Dalam bukunya, Daniel Goleman memetakan kecerdasan mosional berdasarkan 5
domain yaitu (1). Knowing One’s Emotion, (2).
Managing Emotions, (3). Motivating Oneself, (4). Recognizing Emotions In
Others, dan (5). Handling Relationship (Goleman, 2015). Dalam buku lainya
yang berjudul Working with Emotional Intelligence, Daniel Goleman menjelaskan
tentang Kecerdasan Emsional lebih lengkap dengan disertai sub domain-sub domain
yang lebih transparan, seperti dalam tabel dibawah ini:
THE DOMAIN OF EMOTIONAL INTELLIGENCE
A.
SELF AWARENESS
|
|
1
|
Emotional awareness
|
2
|
Accurate self-assessment
|
3
|
Self-confidence
|
B.
SELF REGULATION
|
|
4
|
Self-Control
|
5
|
Trustworthiness
|
6
|
Conscientiousness
|
7
|
Adaptability
|
8
|
Innovation
|
C.
MOTIVATION
|
|
9
|
Commitment
|
10
|
Initiative
|
D.
EMPATHY
|
|
11
|
Understanding others
|
12
|
Service orientation
|
E.
SOCIAL SKILLS
|
|
13
|
Leadership
|
14
|
Team capabilities
|
(Goleman, 2005:56)
Dua orang pakar psikologi terapan dari Fakultas Psikologi
Universitas Toronto-Kanada, Dr. Steven J. Stein dan Howard E. Book memberikan
batasan tentang Kecerdasan Emosional sebagai: Kecerdasan Emosional biasanya
kita sebut “street smart”, atau kemampuan khusus yang kita sebut akal sehat
yaitu terkait dengan kemampuan membaca lingkungan politik dan sosialnya dengan
menatanya kembali (Stein & Book, 2002). Artinya bahwa setiap manusia
memiliki kecakapan-kecakapan non formal, yang didapatkan dari hubungan relasi
sosial masing-masing individu. Dalam bahasa keilmuan Dr. Stein dan Dr. Book
disebut sebagai “street smart” atau kepandaian orang jalanan. Dalam
penegasannya kedua ilmuwan tersebut membagi kecerdasan emosional menjadi 5
ranah yaitu: (1). Intrapersonal, (2). Interpersonal, (3). Adaptability, (4).
Stress Management, dan (5). General Mood. Sebenarnya teori tersebut di adopsi
dari pemikiran seorang Psikolog Yahudi, yang pertama kali mengadakan kajian
secara ilmia mengenai Emotional Intelligence, ilmuan tersebut dikenal Reuven
Bar-On. Beliau yang pertama kali menggunakan hipotesis awal, bahwa mengapa ada
orang yang sukses dianugerahi kemampuan intelektual yang lebih tinggi daripada
orang kebanyakan, tetapi menemui kegagalan hidup, sementara orang lain dengan
bakat biasa-biasa saja ternyata malah berhasil (Stein & Book, 2002). Untuk
lebih jelas diterangkan pada tabel dibawah ini, tentang teori kecerdasan
emosional yang telah dilengkapi oleh indikator-indikator operasionalnya.
Intrapersonal
|
Emotional Self-Awareness
|
Assertiveness
|
|
Independence
|
|
Self-Regard
|
|
Self-Actualization
|
|
Interpersonal
|
Empathy
|
Social Responsibility
|
|
Interpersonal Relationship
|
|
Adaptability
|
Problem solving
|
Reality Testing
|
|
Flexibility
|
|
Stress Management
|
Stress Tolerance
|
Impulse Control
|
|
General Mood
|
Happiness
|
optimism
|
(Stein & Book, 2002)
III.
METODE PENELITIAN
Kajian Kecerdasan Emosional pada
SDM Pariwisata ini, menggunakan metode pendekatan kualitatf.
Pendekatan ini digunakan sebagai upaya untuk mengungkapkan fenomena secara
mendalam yang digali melalui
pandangan dan pengalaman
masyarakat. Kelebihan
pendekatan ini bisa mendapatkan perspektif yang lebih alami dari suatu kelompok profesi
dan membuka peluang untuk pendalaman yang lebih
rinci dari pandangan-pandangan individu dalam masyarakat (Lewis, 2003). Data
yang digunakan
di
dalam studi ini
adalah data primer dan data
sekunder. Untuk menghasilkan data primer digunakan wawancara individu untuk memperoleh
pandangan-pandangan dan informasi
mengenai pengalaman-pengalaman SDM Pariwisata khususnya profesi
Pemandu Wisata dalam proses aplikasi pekerjannya.
Teknik ini sangat
bermanfaat dalam penelitian sosial karena
wawancara mendalam dapat menggali
keterangan dan pandangan-pandangan dan pengalaman-pengalaman SDM lebih mendalam. Panduan wawancara digunakan sebagai
acuan untuk mendapatkan data dari orang-orang
yang menjadi informan, wawancara
dan pengamatan lapangan dilakukan dengan informan terpilih seperti, para Pemandu
Wisata Profesional, Pemandu wisata lokal, bahkan para pemimpin perjalanan atau tour leader. Keseluruhan jumlah informan
dalam studi ini sebanyak 9 orang. Pemilihan
informan dilakukan secara snowball sampling, dengan tetap mempertimbangkan keterwakilan unsur masyarakat. Kriteria pemilihan
informan didasarkan pada (1) mereka yang berkaitan dengan profesi pemandu wisata,
(2) mereka yang memiliki pengalaman sebagai pemandu wisata, dan (3) mereka yang berpengetahuan terkait
prinsip-prinsip seorang
pemandu wisata. Selain data
primer dari
wawancara, pengamatan langsung juga digunakan. Kombinasi hasil wawancara mendalam
dan pengamatan
langsung dalam penelitian kualitatif dapat menghasilkan data komprehensif
dan bermakna. Selain
data primer, digunakan juga data sekunder. Data sekunder yang
digunakan berasal dari buku, jurnal-jurnal, Koran, website, dan sumber-sumber lain. Ketersediaan data di cukup lengkap dan sangat membantu studi ini. Semua data dikumpulkan
dan dianalisis dengan metode analisis kualitatif. Data diinterpretasikan dan dianalisis melalui
interpretasi,
dan dibahas sesuai dengan tinjauan pustaka dan dibandingkan dengan data yang
ada.
IV.
PEMBAHASAN
Pada pembahasan penelitian ini yang berjudul
Kecerdasan Emosional Semberdaya Pariwisata,
1.
Emotional awareness
Kesadaran Emosi dalam artian adalah Mengenali emosi diri
sendiri dan efeknya,
hal ini sangat penting bagi Sumberdaya Manusia Pariwisata, khususnya seorang
Pemandu Wisata atau Tour Guide. Menjadi sebuah keharusan seorang Pemandu wisata
dalam tugasnya, mengingat beragamnya peserta tour yang harus ditangani, terlebih
dengan berbagai latar bekang dan karakter. Menuntut seorang Pemandu Wisata
memahami emosinya, khususnya penguasaan emosi diri yang merupakan persyaratan
dasar dalam apresiasi keramahtamahan atau hospitalitas.
2.
Accurate self-assessment
Adapun Penilaian
diri secara teliti adalah
mengetahui kekuatan dan batas-batas diri sendiri, saya rasa tidak hannya pemandu wisata
saja dalam hal tersebut. Tetapi kebutuhan akan
penilaian diri atau kapasitas pribadi bagi seorang pemandu wisata menjadi
sangat penting, menyangkut kepuasan wisatawan akan proses perjalanan yang
dilakukannya.
3.
Self-confidence
Percaya diri atau Keyakinan akan harga diri dan kemampuan
sendiri menjadi suatu keharusan bagi profesi seorang pemandu wisata, mengingat
dalam suatu perjalanan begitu percayanya para peserta tour, menjadikan percaya
diri seorang pemandu wisata menjadi motivasi dan kenyamanan psikologi bagi
peserta tour dalam sebuah kelompok perjalanan.
4.
Self-Control
Kendali diri atau suatu kondisi seorang individu mampu mengelola
emosi-emosi dan desakan-desakan hati yang kurang produktif, pemahamannya adalah
bahwa kematangan seorang individu atau kelompok, diukur dengan kemampuan
pengendalian diri yang baik.
5.
Trustworthiness
Kepercayaan merupakan kesediaan seseorang untuk bertumpu dan memiliki
perasaan yakin yang kemudian diberikan orang lain dalam suatu situasi tertentu.
Bagaimana kepercayaan ini didasari oleh ketidak paksaan atas perasaan menerima
apa adanya. Kepercayaan juga merupakan kondisi mental yang didasarkan oleh
situasi seseorang dan konteks sosialnya. Secara umum, kepercayaan menjadi dasar
dari hubungan jangka panjang antara karyawan terhadap organisasi perusahaan.
Kepercayaan menjadi kompleksitas hubungan antar relasi manusia. Kepercayaan
(trust) adalah suatu keadaan psikologis berupa keinginan untuk menerima kerentanan
berdasarkan pengharapan yang positif terhadap keinginan ataupun tujuan dari
perilaku orang lain. Sifat dapat dipercaya bagi seorang pemandu wisata menajdi
keharusan, Trustworthiness atau memlihara norma-norma kejujuran dan integritas.
6.
Conscientiousness`
Kewaspadaan dalam artian diatas adalah suatu sikap bertanggung
jawab atas kinerja pribadi, bagi seorang pemadu wisata sikap tersebut sangat
penting. Hal ini menyangku integritas dari seorang pemandu wisata yang memiliki
tanggung jawab moral, keamanan dan kepuasan akan pelayanan wisata terhadap
kelompok wisatawannya.
7.
Adaptability
Adaptabilitas atau
Keluesan dalam menghadapi perubahan pada diri seorang pemandu wisata berfungsi
sebagai: (1). Proses mengatasi halangan-halangan dari lingkungan, (2). Penyesuaian
terhadap norma-norma untuk menyalurkan ketegangan, (3). Proses
perubahan-perubahan menyesuaikan dengan situasi yang berubah, (4). Mengubah
agar sesuai dengan kondisi yang diciptakan, (5). Memanfaatkan sumber-sumber
yang terbatas untuk kepentingan lingkungan dan system, (6). Penyesuaian budaya
dan aspek lainnya sebagai hasil seleksi ilmiah Proses adaptasi antarbudaya:
didefinisikan sebagai tingkat perubahan yang terjadi ketika individu berpindah
dari lingkungan yang dikenalnya ke lingkungan yang kurang dikenalnya.
8.
Innovation
Kata inovasi dapat diartikan
sebagai proses atau hasil pengembangan dan atau pemanfaatan atau mobilisasi
pengetahuan, keterampilan (termasuk keterampilan teknologis) dan pengalaman
untuk menciptakan atau memperbaiki produk, proses yang dapat memberikan nilai
yang lebih berarti, inovasi adalah transformasi pengetahuan kepada produk,
proses dan jasa baru, tindakan menggunakan sesuatu yang baru. inovasi juga
merupakan eksploitasi yang berhasil dari suatu gagasan baru atau dengan kata
lain merupakan mobilisasi pengetahuan, keterampilan teknologis dan pengalaman
untuk menciptakan produk, proses dan jasa baru.
9.
Commitment
Komitmen pada dasarnya
adalah suatu sikap atau kemampuan, untuk menyesuaikan diri dengan sasaran
kelompok. Komitmen seorang pemandu wisata sebagai suatu kekuatan yang mengikat
individu untuk melakukan aksi yang relevan dengan sasaran, komitmen adalah juga
sesuatu yang membuat dirinya rela membulatkan hati dan tekad demi mencapai
suatu tujuan, dalam hal ini tujuannya adalah prioritas pada wisatawan yang
menjadi sentral pelayanannya, sekalipun individu belum dapat mengetahui hasil
akhir dari tujuan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa komitmen adalah
langkah (tindakan) yang di ambil untuk menopang suatu pilihan tindakan
tertentu, sehingga pilihan tindakan itu dapat dijalankan mantap dan sepenuh
hati.
10.
Initiative
Inisiatif adalah
tindakan yang dilakukan pada saat tertentu dengan kesadaran sendiri. Inisiatif
dapat timbul dari mana saja, yang tercipta karena adanya dorongan atau
keinginan dalam diri seseorang untuk melakukan sesuatu. Inisiatif dalam hal ini
adalah kesiapan seorang pemandu wisata untuk memanfaatkan kesempatan, yang
pastinya tidak merugikan wisatawan tapi justru dapat mengefisienkan dan
mengefektifkan kegiatan perjalanan wisata.
11.
Understanding others
Memhami orang lain,
atau biasa disevut sebagai empati, bagi seorang pemandu wisata pengindra
perasaan dan perspektif orang lain, dan menunjukan minat aktif terhadap
kepentingan orang lain atau dalam hal ini para wisatawan yang ditanganinya,
merupakan suatu modal kecerdasan emosional prasyarat. Karena empati dapat diartikan sebagai
kemampuan dan kecenderungan seseorang untuk memahami apa yang orang lain
pikirkan dan rasakan pada situasi tertentu, empati juga merupakan kapasitas
mengambil peran orang lain dan mengadopsi perspektif orang lain dihubungkan
dengan diri sendiri.
12.
Service orientation
Orientasi Pelayanan seorang pemandu wisata berusaha memahami,
mengenali dan berusaha memenuhi kebutuhan pelanggan. Kemampuan ini berusaha untuk
memahami sudut pandang dan kebutuhan
pelanggan serta prioritas pada kebersediaan
melayani untuk memenuhi kebutuhan tersebut, sesuai dengan standar
pelayanan.
13.
Leadership
Kepemimpinan adalah
proses dalam mengarahkan dan mempengaruhi para anggota dalam hal berbagai
aktivitas yang harus dilakukan. Lebih jauh lagi, Kepemimpinan dalam kegiatan
wisata adalah upaya membangkitkan inspirasi dan memandu kelompok dalam hal ini
adalah wisatawan. Pemandu wisata sebagai tokoh sentral dalam kegiatan ini
berperan sentral, karena secara subtantif para wisatawan pastinya memberikan
prerogratif penuh untuk dipimpin. Maka kadang seorang pemandu wisata juga
merangkap sebagai pemimpin perjalanan atau tour
leader.
14.
Team capabilities
Kemampuan Team
menciptakan sinergi kelompok dalam memperjuangkan tujuan bersama, peran seorang
pemandu wisata menjadi sangat berperan aktif dalam menumbuhkan engagement, agar perjalanan dapat
dinikmati secara produktif bagi seluruh peserta perjalanan wisata.
V. SIMPULAN DAN SARAN
Profesi sebagai
seorang pramuwisata mempunyai peluang yang terbuka untuk mengembangkan diri di
bidang pramuwisata maupun di bidang lainnya karena dengan bebagai pengalaman
yang dihadapi di lapangan serta bertemu dengan banyak orang khususnya tamu
asing dapat membuka wawasan pramuwisata untuk mengembangkan pengalaman serta
menjalin relasi yang nantinya akan sangat bermanfaat untuk kehidupan
pramuwisata dimasa mendatang. Peran kecerdasan emosional menjadi suatu
kebutuhan mendesak, mengingat kecerdasan emosi adalah jenis kecerdasan yang fokusnya
memahami, mengenali, merasakan, mengelola dan memimpin perasaan sendiri dan
orang lain serta mengaplikasikannya dalam kehidupan pribadi dan sosial.
Kecerdasan dalam memahami, mengenali, meningkatkan, mengelola dan memimpin
motivasi diri sendiri dan orang lain serta mengaplikasikannya dalam kehidupan
pribadi dan social, khususnya dalam menjalankan profesionalnya sebagai pemandu
wisata. Ini akan menjadi kemampuan yang sangat produktif, jika seorang pemandu
wisata selain memiliki kemampuan kognitifnya juga memiliki kecerdasan
emosional.
DAFTAR PUSTAKA
Berkowitz,
Leonardo (2006); Emotional Behaviour,
Penerbit PPM, Jakarta.
Boast,
M. William & Martin, Benjamin (2001); Master
of Change, Executive Excellence Publishing.
Carter,
L. Stephen (1999); Integrity, Harper
Collins, New York.
Cooper,
K. Robert & Sawaf, Ayman (1998); Emotional
Quotient in Leadership and Organization, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Desky. MA. 2001. Pengantar Bisnis Biro Perjalanan. Yogyakarta. Adi Cita
Elfindri.,
Soft Skill untuk pendidik, Pranita
ofset, 2011.
Essex,
Arielle (2008); Change your Life, PT
Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.
Esya
Alhadi., Pentingnya peningkatan soft
skill dalam lingkungan kerja, administrasi niaga Politeknik Negeri
Sriwijaya, Palempang-Sumatera Selatan, 2010
Goleman,
Daniel (2015); Emotional Intelligence,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Goleman,
Daniel (2005); Working with Emotional
Intelligence, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Goleman,
D., Boyatzis, Richard & McKee, Annie (2006); Kepemimpinan bedasarkan Kecerdasan Emosional, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Howe,
David (2015); Empathy: What it is and why
it matters, Palgrave MacMillan.
Isda
Pramuniati., Integrasi soft skill melalui
learning revolution sebagai upaya peningkatan kualitas lulusan perguruan tinggi,
fakultas bahasa dan seni Universitas Negeri Medan, 2009
Iskandar., Merajut Kecerdasan Komprehensip dalam Pembelajaran, Fakultas
Tarbiyah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin, Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011
Kaswan
(2015); 101 Soft Skills untuk mencapai
puncak kinerja dan kepemimpinan, Penerbit Alfabeta, Bandung.
Klaus,
Peggy (2012); The Hard Truth about Soft
Skills, Harper Collins Publishers, New York.
Lewis, J. 2003. Design Issues. In Qualitative
Research Practice: a Guide
for Social
Science Student Researcher (eds.) Jane Ritchie and Janes Lewis. London: SAGE Publications
Maitri,
Sandra (2008); The Enneagram of Passions
Vitues finding the way home, Penguins Book Ltd.
Masnur
Muslich., Pendidikan Karakter: menjawab tantangan kris Multimedia, Penerbit
Dunia Aksara, Jakarta, 2015.
Meyer,
R. Henry (2011); Managing with Emotional
Intelligence, Golden Books Centre, Kualalumpur.
Oka A. Yoeti, Drs. 2000 Guiding System, Suatu Pengantar Praktis.
Jakarta. PT. Pradnya Paramita
Patterson,
Kerry., Grenny, Joseph., Maxfield, David., McMillan, Ron & Switzler, Al
(2013); Change Anything: The new Science
of Personal Success, Vital Smart, LLc.
Patton,
Patricia (1999); Emotional
Quotient-Leadership Skills, Penerbit Mitra Media, Jakarta.
Prince,
Emma-Sue (2014); The Advantage,
Pearson Education Limited.
Setuju.,
Penguatan Karakter mahasiswa dalam
menghadapi MEA, Seminar dan Call paper, Dies Natalis Universitas
Sarjanawiyata Taman Siswa, 2016.
Stein,
J. Steven & Book, E. Howard (2000); The
Edge Emotional Quotient and Your Success, Stoddart Publishing Co. Limitted,
Toronto.
Stoltz,
G. Paul (2000); Adversity Quotient:
Turning Obstacles into opportunities, Published by John Willeys and Sons,
Inc.
Komentar
Posting Komentar